MENGAPA SAYA MENCINTAI CERITA PENDEK?
Setahu saya, jika ditanya dengan kata 'mengapa', jawaban standarnya harus diawali dengan kata 'karena'. Tetapi karena saya enggan menjadi yang standar-standar saja, izinkan saya menjawabnya dengan langsung bercerita saja.
Saya tidak tahu sejak kapan saya mencintai cerita pendek. Jika dipikir-pikir lagi dan saya tarik waktu jauh ke belakang, kemungkinan besar sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Saya duduk di bangku SD kelas satu pada tahun 2000. Kala itu seingat saya, saya sudah bisa membaca. Dan sejak bisa membaca saya suka sekali membaca tulisan apa saja yang lewat depan mata saya. Tulisan di dinding. Di bungkus koran pembungkus nasi kuning. Di televisi. Di kertas tulisan tangan mama saya bertulis 'cara membuat kue kering'. Intinya di mana saja. Menginjak kelas dua atau tiga, bapa saya suka membelikan saya buku cerita terbitan gramedia. Buku ini bergambar dan berkisar pada cerita tentang legenda, mitos, atau cerita apa saja yang berkaitan dengan dunia anak. Sayang, buku-buku masa kecil saya sudah berada di mana. Maklum. Mama saya tidak terlalu suka banyak barang yang menurutnya sudah tidak sesuai umur lagi ada di rumah. Buku cerita bergambar ini hanya terdiri dari beberapa halaman saja. Membuat saya menyukai dan ingin membaca lagi dan lagi. Saya juga dulu senang sekali membaca Majalah Bobo. Di situ juga ada cerita -cerita pendek yang hanya sepanjang satu halaman. Saya suka sekali.
Menginjak SMP dan SMA, kesukaan saya menjadi sedikit berbeda. Saya suka membaca kisah lima sekawan atau goosebumps. Bukan apa-apa. Dulu ketika bersekolah di SMPK St. Ursula di Ende dan masuk asrama, mayoritas pilihan bacaan di perpustakaan asrama kami adalah seputar Enid Blyton atau R.L. Stine. Tetapi awal-awal berkenalan dengan buku ini saya seringkali tidak menyelesaikannya. Pupus di tiga atau empat bab awal. Entah mengapa. Lanjut SMA, bacaan saya lebih seputar novel remaja; yang kalau saya ingat-ingat kok eyuwh yah. Tetapi kemampuan membaca semakin meningkat. Saya tidak lagi tidak menuntaskannya seperti zaman SMP dulu. Selain novel, saya juga suka sekali membaca majalah remaja, seperti HAI! dan Gadis. Lagi-lagi bukan karena apa-apa. Jenis dua majalah itu yang tersedia di rak perpustakaan SMA saya. Ah.. belum lagi saya bersekolah di sekolah yang berisi perempuan. Jelas.. HAI! juga Gadis jadi bahan bacaan rebutan.
Masuk kuliah bahan bacaan dituntut lebih akademis. Maklum.. kuliah lebih menuntut kemandirian---katanya! Tetapi nyatanya selepas kuliah S1 ini saya merasa bahan bacaan saya yang akademis dulu tidak saya tekuni secara serius. Sungguh amat menyesal. Rasanya masih cetek saja otak saya yang seuprit ini. Pada masa kuliah saya mulai belajar membaca "sesuai umur". Yang kemudian saya refleksikan, kenapa tidak sejak SMA saya sadari ini!. Saya mulai mengenal Djenar Maesa Ayu, Agatha Christie, Tan Malaka, Puthut EA, Anton Chekov, buku-buku puisi, dan karya sastra lainnya yang tidak hanya sekedar novel-novel percintaan. Saya mulai membaca biografi, sejarah, dan cerita-cerita yang lebih membutuhkan nalar di dalamnya.
Akhirnya setelah mengembara dan belajar mencintai buku, saya akhirnya menemukan jati diri saya. Saya menyukai buku biografi. Tetapi lebih dari itu, saya mencintai kumpulan cerita pendek. Selain karena sesuai dengan kemampuan menyerap saya (hahaha) dan sejarah sejak kecil dijejali buku cerita pendek, saya juga merasa cerita pendek adalah memberi ruang nalar dan khayalan yang sangat luas bagi pembacanya. Begini. Saya ambil novel saja. Novel memaparkan plot dan konflik cerita secara jelas dan runut. Pembaca dituntun mengikuti cerita dari rangkaian bab tiap bab, dari awal hingga akhir. Meski pada saat membaca tiap pembaca memang memiliki daya nalar dan khayalan yang berbeda-beda. Semua kembali pada keputusan sang pembaca. Tetapi cerita pendek berbeda. Tidak semua plot dan konflik diuraikan. Ada keterbatasan ruang cerita di sana. Dan di sana pulalah pembaca harus bisa menganalisa sendiri ke arah mana cerita ini berujung. Atau bahkan bagaimana memulainya. Bahkan kadang ada tokoh yang harus kita ciptakan sendiri untuk "melengkapi" cerita pendek.
Sayang sebagai seseorang yang mencintai cerita pendek, saya sebenarnya merasa malu. Belum banyak cerita pendek yang sejauh ini saya baca. Saya malu sekali karena waktu saya lebih banyak melakukan hal kurang penting lainnya dibandingkan membaca. #generasihapepintar
Ah ya... Djenar Maesa Ayu, Anton Chekov, Armin Bell, Benard Batubara, Dicky Senda, Linda Christanty adalah beberapa penulis yang sudah menelurkan karya cerita pendeknya, yang cukup saya gemari karyanya. Kira-kira ada lagi rekomendasi teman-teman judul atau penulis yang menelurkan cerita pendek? Saya mauuuuu biar semakin percaya diri mengaku-aku sebagai pecinta karya cerita pendek.
HE HE HE HE.
HE HE HE HE.
Komentar
Posting Komentar