HIDUP UNTUK APA?
Pertanyaan ini terngiang-ngiang di kepala selama beberapa waktu ini.
Entah kenapa. Mungkin karena usia semakin bertambah. Lingkungan berubah. Sahabat sekitar tidak sama lagi. Entahlah.
Yang pasti pertanyaan in muncul selepas pulang dari Samosir. Rumah selama setahun kemarin (2017).
Dan..
Rasanya baru Rabu kemarin saya naik becak dari Simbolon ke Pangururan untuk maronan (ke pasar). Rasanya baru Sabtu kemarin saya jajaki perjalanan tiga setengah jam ke Lontung untuk bertemu Kak Niki. Rasanya baru Jumat kemarin saya nyebrang ke Parapat lewat Tomok.
Time flies. So fast.
Hari ini saya sudah kembali ke rumah saya. Hari ini yang saya maksud sejak akhir Januari 2018.
Saya kembali ke rumah. Kupang. Ibukota provinsi yang semakin padat saja. Sana sini sudah mulai ramai orang. Bahkan dulu yang jarang saya temui orang bercakap-cakap memakai kata 'nggak' atau 'aku'; sekarang makin banyak saja saya temui orang-orang yang lafal berlogat 'nggak keaku-akuan'. KUPANG PADAAAAAT!
Dan jujur saja saya suka-suka saja. Lagipula ini ibukota provinsi mau tidak mau. Lambat laun akan lebih padat dan ramai lagi. Apalagi sekarang makin banyak pergerakan sosial anak muda di kota ini. Eh... tunggu dulu... tunggu dulu. Perasaan saya mau cerita soal 'HIDUP UNTUK APA?' kok malah cerita tentang Kupang.
Pertanyaan yang terngiang-ngiang ini saya tanyakan ke beberapa teman, bahkan saya lempar jadi status di Instagram Story saya. Jawabannya menurut saya abstrak. Kebanyakan menjawab untuk bahagia. EWW. Bukan bagaimana-bagaimana ya. Menurut saya jawaban tersebut adalah jawaban penghibur diri dari berbagai masalah hidup yang dimiliki.
Tiga bulan di Kupang tanpa pekerjaan yang tetap. Membuat saya menemukan bahwa kebanyakan orang berpikir hidup itu untuk bekerja. Bekerja untuk dapat uang. Ada uang bisa makan. Penuhi kebutuhan. Jalan-jalan. Senang-senang. Ya. Ya. Ya.
Jujur saja sampai di sini saya bingung. Apa yang mau saya ceritakan. LAH!
Lha wong sebenarnya saya juga nanya.. HIDUP UNTUK APA ya sebenarnya.
Lalu yang membaca, bertanya. "Kalau menurutmu, hayo?"
Simpel saja. Hidup itu untuk melakukan apa yang kita sukai. Saya suka selama tiga bulan di Kupang ini. Yang mana kali ini adalah waktu terlama saya di Kupang seumur hidup saya selain SD enam tahun di Kupang (seriuosly).
Saya suka karena saya (akhirnya) mendapat teman-teman baru dengan scope interest yang sama dengan saya. Saya suka karena saya bisa menghadiri seminar yang saya inginkan, yang pasti tidak dapat saya lakukan jika bekerja. Saya suka bisa ikut kegiatan mengajar ke desa. Saya suka ketika akhirnya berhasil mengumpulkan beberapa teman untuk mengadakan sebuah event. Saya suka ketika saya bisa menjadi raja atas diri saya sendiri. Membuat keputusan-keputusan sendiri. Belajar bertanggungjawab.
Tiga bulan ini kalau saya sebut hidup saya sedang berada dalam siklus free flow life (yaastaga bikin-bikin istilah haha!).
TAPI TAPI YA TAPI...
Itu tadi karena saya hidup tidak sendiri. Masih sama orangtua. Orangtua saya tentu mengharapkan ijazah dan pengalaman yang kamu miliki tidak hanya berakhir dengan kamu menjalani hidup free flow yang kamu bayangkan itu. DANGG!
Hidup keras,bung. Sangat. Dan jujur saja tiga bulan ini tentu saya tidak berdiam saja. Saya sedang dalam proses pencarian tempat belajar yang baru. Yang mana juga bisa menjadi sumber penyambung hidup saya. (Btw, bisa ndak sih manusia ndak hidup tanpa uang!?)
Orangtua saya bilang saya pemilih. Sudah di tempat yang ada saja. Sudah di sana saja. Sudah... cari yang pasti-pasti saja. Bahkan. Ada suatu momen. Saking kerasnya saya. Bapak saya berkata, sudah lupakan dulu idealisme mu.
...
...
...
Saya terceng
ang dan jujur sedih.
Jadi intinya...
Saya kembali bertanya menurutmu HIDUP UNTUK APA?
Untuk uang? Untuk kerja? Untuk makan? Untuk biar ndak diomongin orang? Untuk cinta? Untuk Tuhan?
Jangan tanya balik ke saya. Karena saya pun bingung hulu dan hilirnya. Juga jangan tanya maksud tulisan ini sebenarnya apa. Karena saya juga bingung apa jawabnya.
Komentar
Posting Komentar