Perempuan dan Air: Sebuah Celotehan
Seorang Perempuan dan Hamparan Air di Danau Toba (Dokumentasi pribadi, cari foto waktu di Semau, tapi entah tersebar di mana) |
Ada sebuah anekdot terkait pembangunan masyarakat yang jamak terdengar. Ceritanya sebagai berikut.
Alkisah di sebuah wilayah, datanglah sebuah lembaga kemanusiaan. Lembaga ini hendak mengimplementasikan sebuah program. Pada hari-hari pertama kedatangan, mereka melakukan survei kebutuhan masyarakat. Singkat cerita, para petinggi lembaga pun dipertemukan dengan sekelompok bapak, termasuk beberapa pemuda, tetua adat, hingga pemerintah setempat. “Kami butuh pipa dari sumber mata air kami ke wilayah tinggal kami,” itulah suara bulat yang mereka utarakan. Akhirnya, si lembaga hadir lagi dengan membawa seperangkat alat membangun sarana yang mereka minta. Tak lama setelah semua terinstalasi sempurna, masalah lain datang. Di beberapa bagian pipa, mulai tampak rusak akibat ulah beberapa oknum. Lembaga datang memperbaiki. Namun terjadi lagi. Belum menyerah, pipa diperbaiki lagi. Namun sang oknum tak jua berhenti berulah. Setelah diusut lebih dalam, oknum perusak pipa adalah para ibu di wilayah tersebut. “Kami tidak suka ada pipa! Kami jadi tidak bisa lagi mengambil air lalu saling bertemu dengan ibu lainnya untuk bertukar cerita,” ungkap mereka geram.
Apa yang menarik dari kisah ini?
Tentu saja jika diurai dari berbagai perspektif, jawaban singkatnya: banyak! Dalam
konteks hubungan perempuan dan air, kita bisa menelaah bahwa pemenuhan
kebutuhan air dalam rumah tangga merupakan ‘jalan ninja’ perempuan, atau lebih
spesifiknya ibu. Alih-alih mengganti peran sang Ibu, para bapak memilih jalan
pintas, pipanisasi. Logika mereka selalu mengarah bahwa pemenuhan kebutuhan
akan air adalah tugas Ibu, dengan tambahan anak atau saudara perempuan mereka.
Asumsi ini rasanya mudah ditebak,
karena air dalam kehidupan rumah tangga, pemakaian utamanya mayoritas digunakan
untuk mencuci dan memasak (kompas.com). Pekerjaan domestik ini masih lekat
dengan tugas ibu, salah satunya jamak terjadi di wilayah Timur Indonesia, salah
satunya Kota Kupang.
Sebagai wilayah tropis, Kupang
menghadapi musim kemarau lebih panjang dibandingkan musim penghujan. Tak
jarang, wilayah ini sering disebut Kota Karang. Ketika musim kering, begitu
mereka menyebut musim kemarau, mata air mengering serempak. Pemenuhan kebutuhan
air dari PDAM tidak lagi mencukupi. Akibatnya, banyak rumah tangga harus
merogoh kocek lebih dalam, membeli air lagi dan lagi.
Beberapa Ibu di suatu perumahan, mengeluhkan,
mereka seringkali harus memotong anggaran belanja. Lebih jahatnya, beberapa
suami mereka tidak peduli akan hal tersebut, seolah memang menumpahkan urusan
pemenuhan air adalah tanggungjawab ibu sepenuhnya.
Tidak jauh berbeda, jika bertolak
sejenak ke wilayah di kawasan Kabupaten Kupang, dengan mudah kita akan
menemukan sulitnya ibu memenuhi kebutuhan air rumah tangga. Mari kita bertolak
ke Pulau Semau. Pulau ini terletak di sebelah barat Pulau Timor, bisa ditempuh
selama 30 menit dari Pelabuhan Tenau, Kota Kupang.
Secara administratif, pulau ini
terdiri dari 2 kecamatan dan 14 desa. Meski pulau kecil ini dikelilingi Laut
Sawu, ketersediaan air bersih menjadi ancaman utama. Ketika musim penghujan
tiba, maka berkat hadir bagi mereka. Proses penampungan air akan dilakukan
secara maksimal. Air hujan yang ditampung kemudian akan memenuhi kebutuhan
rumah tangga seluruhnya selama kurang lebih 2 bulan. Sisanya? Mereka harus
membeli air dengan harga mahal bagi mereka. Untuk satu tangki air berkapasitas
5000L, mereka harus membayar sebesar 200 ribu rupiah. Jika mampu, air ini akan
mereka pakai seirit mungkin selama maksimal 1 bulan.
Jika sang keluarga tidak memiliki
penghasilan cukup, dipastikan mereka hanya akan bertahan pada air hujan, pergi
mengambil di sumber air yang cukup jauh, atau sesekali bergantung pada belas
kasihan tetangga. Lalu siapakah yang paling bertanggungjawab memenuhi kebutuhan
air ini? Tentu saja perempuan yang ada di rumah, terutama Ibu.
Realita ini amat menyedihkan. Ibu
sungguh sebagai tiang utama rumah tangga pada konteks akses air bersih mengalami
tantangan yang amat sulit. Bahkan, dalam sehari, banyak dari mereka yang tidak
punya waktu mengatualisasikan diri. Jangankan aktualisasi, istirahat saja sudah
bersyukur. Oleh karenanya, perlu menjadi kesadaran kolektif bahwa pemenuhan air
dalam rumah tangga merupakan tanggungjawab setiap anggota keluarga.
Jika ibu sudah menyiapkan makanan,
membersihkan rumah, mencuci pakaian, anggota lainnya harusnya secara sadar
bahu-membahu. Tidak menumpahkan semuanya pada perempuan. Bapak, Suami, Laki-laki,
harus punya pandangan yang jauh. Jika Ibu, Istri, Perempuan adalah tiang
penting, dalam konteks ini di rumah tangga, bukankah kita harus menjaganya
lebih baik? Bayangkan yang terjadi jika saja tiang itu runtuh?
Semoga kita semua semakin bisa
memaknai pentingnya peran perempuan di segala aspek, salah satunya dalam
memastikan akses air bersih.
Selamat Hari Perempuan Internasional 2021!
------
Ditulis 4 hari sebelum perayaan, 08 Maret 2021
Komentar
Posting Komentar