Demokrasi yang Sehat dan Bermakna
Reformasi di Indonesia paska runtuhnya orde baru membawa hawa segar bagi demokrasi. Namun, tak bisa disangkal banyak indikasi terjadinya kemunduran beberapa tahun belakangan ini. Kebebasan berekspresi dan berpendapat direpresi, regulasi yang menjerat dengan pasal-pasal karet, serta bangkitnya era kolonialisme dalam wujud modernisme.
Ada pula yang menyebut demokrasi Indonesia saat ini sakit bahkan cacat. Hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada 17-21 September 2021 menunjukkan yang puas pada pelaksanaan Demokrasi hanya 47.6% (dari 1200 responden). Angka yang bahkan tidak mencapai 50% ini tergolong rendah. Lebih lanjut laporan dari the Economist Intelligence Unit (EIU) pada Februari 2021 menyatakan indeks demokrasi kita turun menjadi 6.3 dari sebelumnya 6.48.
Di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Upaya menyehatkan demokrasi di Indonesia adalah upaya bersama, namun yang terpenting adalah dari pemerintah dalam mencipta sistem dan budaya demokrasi yang sehat dan bermakna.
Namun, seperti apakah demokrasi yang sehat dan bermakna? Apakah ketika pemerintah mendengar suara masyarakat yang menolak kenaikan harga BBM? Apakah ketika keran berekspresi dan berpendapat dibuka, tidak disumbat oleh regulasi represif seperti UU ITE atau Permenkominfo No.5? Apakah ketika pemerintah berdiri paling depan menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia?
Memahami Demokrasi
Dalam pengertian yang paling sederhana,
demokrasi dapat diartikan pada sifat yang terbuka, tidak memaksakan kehendak,
saling percaya, dan toleransi. Dalam tata negara, negara yang demokratis
menempatkan masyarakat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi; seperti yang
digaungkan oleh Abraham Lincoln: dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Demokrasi di Indonesia belum mampu
membuat masyarakat menjadi padu dan patuh pada hukum yang berlaku karena adanya
penyalahgunaan oleh para elit yang mempolitisasi hukum di Indonesia. Terbaru
(per 6 September 2022), 23 koruptor mendapatkan pembebasan bersyarat. Belum
lagi transisi pemerintahan dan pesta demokrasi tidak jauh dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Tukar tambah jabatan dan percampurbauran bisnis dan
politik adalah contoh nyata. Lebih lanjut, jelang Pemilu 2024 hasutan dan
ujaran kebencian dari kelompok tertentu juga mulai mewarnai kontestasi pemilu.
Hal ini melahirkan pertanyaan besar tentang kesungguhan negara dalam menjamin
hak-hak politik masyarakat.
Ini kemudian berbuah pada perjalanan
demokrasi di Indonesia yang sakit dan tanpa makna, mengabaikan nilai-nilai
Pancasila, mengkhianati konstitusi, dan tak berarah. Pada praktiknya, demokrasi
di Indonesia tidak lebih dari narasi yang dipakai sebagai jargon semata.
Demokrasi yang Sehat
dan Bermakna: Mungkinkah?
Mewujudkan demokrasi yang
sehat dan bermakna di Indonesia mungkin saja terjadi, meski sulit dan tidak
akan pernah terwujud sepenuhnya. Pemerintah harus hadir sebagai figur yang
berpihak dan berkomitmen pada pemenuhan hak yang sudah dijamin oleh konstitusi,
tidak hanya sekadar lip service. Seperti misalnya terjaminnya
perlindungan sosial semua lapisan masyarakat terutama kelompok rentan dan
terpinggirkan (termasuk anak dan perempuan). Pembenahan Data Terpadu
Kesejahteraan Sosial (DTKS), pelacakan dan pendistribusian bantuan sosial yang
tepat sasaran, serta mengefisiensikan penyaluran dana adalah langkah konkret
yang bisa dilakukan pemerintah.
Pada ranah digital, pembenahan tata kelola data menjadi kunci transformasi pelayanan publik. Namun pada praktiknya ketersediaan kerangka hukum dan infrastruktur digital, kapasitas kelembagaan, sistem informasi, serta pelindungan keamanan dan data pribadi menjadi tantangan nyata yang belum menjadi prioritas negara. Bahkan hadirnya regulasi yang merepresi kebebasan di ranah digital semakin membuat tantangan menjadi berat. Oleh karenanya, agar memungkinkan terciptanya demokrasi di dunia digital, pemerintah wajib setidaknya (1) mengharmonisasi peraturan-peraturan yang menjadi landasan penyelenggaraan tata kelola data di Indonesia, (2) mendesain mekanisme tata kelola data yang holistik dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat, serta (3) memastikan mekanisme akuntabilitas tata kelola data diselenggarakan sesuai peraturan berlaku.
Aspirasi masyarakat seharusnya menjadi panduan pelaksanaan kebijakan. Gelombang demonstrasi yang terjadi sesungguhnya menjadi indikasi bahwa pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada rakyat. Masyarakat, bahkan dari level desa, sepatutnya diberi ruang untuk mengevaluasi efektivitas program dalam pambangunan termasuk kebijakan publik. Masyarakat seyogianya diposisikan sebagai pengambil keputusan apakah program pembangunan yang dijalankan layak untuk diteruskan, disesuaikan, atau dihentikan sama sekali. Mengedepankan aspirasi rakyat dalam mengevaluasi program pemerintah akan membuka ruang berekspresi dan berpendapat yang adalah nyawa dari demokrasi.
Demokrasi yang sehat dan bermakna di Indonesia berpeluang untuk terwujud, meski tak akan sepenuhnya. Pemerintah setidaknya membuka ruang bagi publik dan masyarakat sebagai aktor utama proaktif dalam mewujudkan pembangunan yang holistik dan inklusif.
Selamat memperingati Hari Demokrasi Internasional 2022!
Komentar
Posting Komentar