Jogja dan Degup Kencang di Dada
Jogja, bagi banyak orang jadi rumah yang penuh kehangatan dan kenangan. Salah satu dari banyak itu ada saya. Tujuh tahun Jogja jadi tempat peraduan saya, jauh dari rumah, dari rasa nyaman. Sejak menuntaskan pendidikan menengah pertama, saya beradu nasib ke Jogja. Kalau dipikir-pikir lagi entah apa yang merasuki saya kala itu, memilih Jogja sebagai tempat melanjutkan pendidikan sebelum berlanjut kuliah.
Mungkin juga karena Mama adalah wong kulon. Tapi rasa-rasanya tidak bisa jadi alasan yang cukup legit. Rumah keluarga saya tidak berada di area kota, harus menempuh perjalanan darat 1 hingga 2 jam dari kota.
Tidak hanya melanjutkan SMA, untuk melanjutkan kuliah saya memutuskan kembali Jogja sebagai titik tuju. Rasa-rasanya kalau waktu mau diputar kembali saya ingin memilih tempat lain, Bandung, Semarang, Malang, rasanya lebih menantang. Harus diakui, namun, begitu kata hati saya bilang, kalau nggak di Jogja berkuliah, rasa-rasanya juga tidak akan membentuk saya seperti sekarang. Lagipula saya penganut aliran bahwa segala sesuatu terjadi karena Semesta menghendakinya.
Bicara soal Jogja yang hangat, Jogja yang rumah, Jogja yang nyaman; Jogja di satu sisi juga menyimpan kenangan yang menyakitkan di hati. Banyak keputusan bodoh nan tidak matang dilakukan saat baik SMA maupun kuliah. Banyak hari-hari tanpa tujuan jelas terjadi. Banyak proses yang rasanya terlewat begitu saja. Banyak yang tidak bermakna terjadi di Jogja selama 7 tahun di Dr. Sutomo-Babarasi dan sekitarnya.
Rasanya tidak bermakna.
Terasa ada semacam pukulan kencang di dada begitu melewati jalan utama Stella Duce 2, di Dr. Sutomo; atau area Atma Jaya di Babarsari Gotham City. Ini terasa sungguh hari ini, ketika kutelusuri dengan Nafira, salah satu saksi hidup (((saksi hidup))) saya plus nyampah-nyerapah-gak penting-sampai penting semasa kuliah atau bahkan sampai hari dan harus sampai nanti, ya, Fir?
Salah satu alasan ke belakang kampus: Afui! Harus eliminasi si daging ayam, karena sudah hijrah jadi pescaterian. |
Pukulan di dada diikuti rekaman-rekaman yang teputar di kepala. Jauh dari orangtua. Kekurangan materi. Gak maksimal di kelas Biologi dan Kimia. Gak nerima raport karena ekskul gak beres. Telat kuliah. Kanan-kiri-bolak-balik ke tempat fotocopy andalan belakang kampus. Lembur sampai malam perkara huru-hara sana-sini akademik atau non akademik. Pengambilan keputusan saat jadi ketua organisasi dan ya pastinya jadi diri sendiri, jadi mahasiswa, kala itu. Pilihan lingkaran pertemanan dan rutinitas. Dinamika dengan saudara. Semuanya waktu masih jadi maha sis wa waktu jadi sis wa SMA. Semuanya. Rasa takut dan mungkin sesal? Rasanya kalau berkelana sendiri mungkin setetes dua air mata sudah membasahi pipi rasa-rasanya.
Tapi buat apa, sesal, takut, sedih, untuk yang sudah terlewat. "Bikin sampah di pikiran aja!" Gitu kata seniorku. Di kantor.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi. Emang ada memori atau jalan hidup yang manis-manis aja?
Jogja di balik rumah yang penuh kehangatan bagi banyak orang dan salah satunya saya. Nggak mungkin hanya manis-manisnya. Jogja yang nyatanya membuat saya berdegup kencang bukan hanya karena hangatnya malah membuat saya membuatnya menjadi rumah. Sampai kapanpun.
Bahkan menuangkan tulisan ini dan memutar ulang semua memori di Jogja, dada ini kembali berdegup.
Extended play: penelusuran jejak-jejak yang membuat berdegup kencang!
Komentar
Posting Komentar