Have you ever attended a social gathering, a lecture, or a meeting with alumni and contemplated the reason behind focusing solely on positive experiences shared by individuals? It could be the benefit of connections, the power of communication, or anything else in a positive way. One potential explanation could be attributed to how our brain works. The human brain loves something that makes us joyful, since it results in endorphins. Sad or negative stories can sometimes trigger bad things. It does not generate endorphins. Another potential factor could be individuals’ concern about publicly showing their vulnerabilities. Nevertheless, a different story shared by an alumna of Communication Leadership at the University of Washington deeply resonated with some people. To be underlined, the narrative is not simply about positive aspects.
Credit to "You Are Not Special" Children's Book, retrieved from https://knowyourmeme.com/
Please meet Sophia Kristina. She is a Director for Diversity, Equity and Inclusion at the Washington State Board for Community and Technical College. Sophia, being an immigrant, has undergone a series of developmental events that have contributed to her current identity. One aspect is about the importance of realizing that an individual is authentic but, at the same time, not that special because an individual is replaceable. “In particular, when we talk in a work setting, not only here in the state but also all around the world,” she added.
On the other hand, Lloyd Carney, the Chief Executive Officer of Brocade, gave his own story in discussing this issue, as documented on themuse.com. He said, “My grandfather used to do this thing called the bucket test. He would be arguing with one of his employees, and he’d call me in and say, ‘Get a bucket of water.’ So, I’d bring the bucket of water to the room, and he’d say, ‘Lloydie, put your hand in the water.’ Then I’d take it out, and he’d say to his employee, ‘See that hole that Lloyd left in the water? That’s the hole you are going to leave when you leave here.”
A song from Tulus, one of the best-known Indonesian singers.
"Kelana" is a story of today's hustle culture.
The work situation today is that fluid. Everything happens at a rapid pace, including when an employee leaves a company. There is already a long line waiting to occupy the position. This sarcastic yet realistic advice may be a topic that is rarely addressed in public conversation, particularly in a wide audience session. In addition, a study from Johns Hopkins Carey Business School (2021) revealed that seeing other people's big triumphs can help us feel more motivated than usual. This research could serve as supporting proof for the prevalence of people highlighting their accomplishments in numerous talking sessions.
The ’you-are-not-special-and-irreplaceable’ argument voiced by Sophia may be perceived as a negative sentiment by certain people. However, for others, it could be valuable advice. It could be a cautionary reminder to prioritize self-respect. In today's world, which is marked by constant flux, individuals often find themselves engaging in extended work hours. The deadline is maniac, and the goal is ambitious. In many cases, the employee holds the belief that their contribution holds the utmost significance. In certain contexts, there may be advantages to the situation being discussed; nonetheless, we are not talking about that narrative. In essence, the point of the replaceable wants to encourage individuals to have a holistic view of their role at work: set boundaries and priorities.
Conversely, speaking of replaceable, it is more prudent to aspire to be an individual who is difficult to replace. This statement means—in a simple sentence—making your very best at work, the best one, but at the end of the day, stay lowkey, because you are not special and you are not irreplaceable. How does it sound? Does it cause confusion for you?
“Be yourself; everybody else is taken."-Oscar Wilde
Warisan dan situs budaya di Sianjur Mula-mula memang berlimpah, seperti yang pernah saya katakan. Tempat yang ingin saya ceritakan ini terletak di Bukit Sulatti, Desa Limbong-Sagala. Tempat ini akrab disebut Sopo Guru Tatea Bulan. Sopo dalam bahasa Batak Toba berarti rumah. Tempat ini menjadi gambaran cerita kehidupan dari putera sulung Siraja Batak: Guru Tatea Bulan. Kesan pertama melihat tempat ini saya pikir tempat ini merupakan kuburan. Apalagi saat saya tiba, terdapat beberapa orang yang ramai seperti sedang berziarah. Sopo Guru Tatea Bulan tampak depan Patung keempat pelayan Raja (empat sebelah kiri) Dugaan saya salah. Tempat ini merupakan saksi bisu beragam cerita sakti Sang Raja juga keturunan serta kerabatnya. Tidak hanya sebagai saksi bisu tempat ini juga menjadi tempat ziaraah, berdoa, serta pemujaan kepada leluhur bagi mereka yang percaya. Pada bagian depan Sopo terdapat 4 patung perempuan di sebelah kanan yang sedag menumbuk padi dan 3 patung perem
Pulau Rote cantik sekali! Meski ada yang diskriminatif, di lokasi yang satu ini saya diperlakukan dengan baik! Ntaps~ "Kaka.. Son bisa pi sana. Di sana (tempatnya) bule dong!" "...." Beberapa detik di awal saya terdiam. Oh ini, ya, rasanya terasing di tanah sendiri. Kami yang tampaknya bukan turis asing dan bahkan berbahasa yang sama dengan yang menegur kami dianggap tidak layak atau tidak pantas ke tempat yang ia katakan merupakan tempat para bule, yang merujuk pada mereka yang tidak berasal dari Indonesia. Rasanya hal ini bukan hanya terjadi pada kami, saya dan teman, tetapi terjadi pada banyak orang lain di wilayah lain, terutama yang jumlah turis baik lokal maupun mancanegaranya berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan tempat saya berkunjung, Rote. Bali, Labuan Bajo, Samosir, Lombok, bisa jadi daerah yang banyak mengalienasi turis lokal. Contohnya kayak di tulisan ini , ini , dan ini . Tebakan saya ini terjadi karena kita masih mengaggap mereka yang da
Banyak sekali tempat di Samosir yang membuat saya seringkali bertanya berkali-kali atau googling berkali-kali. Ini beneran nggak sih? Ah masa iya? Nggak percaya ah !. Saya sering bertanya tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga pada beberapa orang di sini. Untuk membuktikannya tentu saja saya harus memastikannya sendiri. Salah satu tempat yang ingin saya pastikan adalah Aek Sipitu Dai atau Air Tujuh Rasa. Letaknya di desa yang sama dengan namanya, Desa Aek Sipitu Dai di Kecamatan Sianjur Mula-mula. Aek Sipitu Dai adalah tujuh pancuran air yang masing-maisngnya memiliki rasa yang berbeda. Air yang mengalir pada pancuran ini berasal dari tujuh mata air yang tergabung dalam sebuah tempat labuan dan lalu dialirkan pada tujuh pancuran, yang anehnya rasanya tetap menjadi terpisah berjumlah tujuh. Salah satu saluran air yang terletak di pemandian laki-laki Perjalanan menuju tempat ini terbilang mudah. Dengan mengendarai kendaraan; dapat ditempuh selama kurang lebih 45 h
.jpeg)
Komentar
Posting Komentar