MENANAM PADI UNTUK PERTAMA KALINYA



            Sejak di Samosir banyak hal yang baru pertama kali saya alami, ya di sini. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keseharian masyarakat yang jauh berbeda dengan keseharian saya juga keluarga saya. Salah satunya berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam di sawah. Jujur memang saya tidak berasal dari keluarga yang bapak-ibunya bekerja sebagai petani, meski bapak-ibu saya dapat hidup karena kedua orangtua mereka adalah petani. Saya tidak mengalami pengalaman seperti bapak-ibu saya. Selain baru pertama kali ikut mengusir burung di sawah, pada 06 Oktober 2017, saya memeroleh kesempatan untuk ikut menanam padi di sawah. Ah… sungguh kesempatan langka pikir saya. Apalagi saya sudah sejak lama ingin merasakan langsung pengalaman menanam padi.
            Kali ini Kak Tipen yang memberi saya kesempatan emas ini. oh ya… Kak Tipen adalah panggilan saya untuk Kakak ini yang memiliki anak pertama bernama Tipen. Sejak awal saya menwarkan diri dan berkata bahwa saya tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Sehingga saya memohon maaf apabila terjadi hal-hal yang membuat sesuatu menjadi buruk. Sesuai janji, pukul 14.00 WIB saya diminta untuk bergabung ke sawahnya. Setiba di sana ternyata sudah ada beberapa ibu-ibu lain yang mulai menanam padi. Di sini, kegiatan menanam padi ini disebut marsuan. Oh ya… saya memanggil ibu-ibu ini dengan sebutan nantulang, diikuti nama pertama anaknya. Jumlah nantulang yang marsuan hari itu sepuluh orang, jika ditambah Kak Tipen dan saya maka menjadi dua belas orang.
            Melihat saya datang, nantulang lain merasa cukup heran, raut wajah mereka seperti berkata, “kok mau ya dia?”. Selang beberapa saat setelah bergabung, Kak Tipen mengarahkan saya dibantu dengan Nantulang Nopita. Gerakan pertama saya tentu sangat kaku. Saya sangat perlahan dan berhati-hati sehingga beberapa dari mereka sesekali tertawa kecil. Bagi mereka tentu marsuan adalah hal yang sepele, karena sudah mendarah daging sebagai bagian dari aktivitas mereka. Kelihatannya memang sepele. Orang yang marsuan mengambil segenggam padi (anakan) lalu membaginya dalam beberapa kumpulan anakan (sekitar 5-7 batang) lalu dicocokan ke tanah, dengan jarak tertentu. Saya sangat sangat berhati-hati sehingga sudah pasti gerakan saya paling lambat dibandingkan dengan mereka yang lain.
            Belum lagi harus melawan rasa pegal di pinggang akibat terus menunduk ketika mencocokan anakan padi. Selang beberapa waktu saya telah berhasil menanam dengan perbadingan satu banding sepuluh dengan bagian yang mereka selesaikan. Saya merasa geli sendiri. Lebih dari dua kali, Kak Tipen meminta saya untuk beristirahat. Tetapi saya tidak ingin, meski saya tahu saya kurang becus dengan urusan marsuan ini. Setelah menyelesaikan setengah bedengan, saya pun memutuskan untuk mengambil pekerjaan selanjutnya yakni membantu Kak Tipen mengambil siput di sawah. Saya takut semakin mengacaukan sawah Kak Tipen, jujur saja itu perasaan saya saat itu.
            Pukul 17.30 WIB, semua pekerjaan (mereka) pun selesai. Mereka (para nantulang) satu per satu menerima uang gaji dari Kak Tipen sebesar Rp 50.000,00 dan dengan tertib sambil sesekali mengobrol kembali ke rumah masing-masing. Beberapa nantulang menyemangati saya, bahkan ada yang sampai berkata untuk menikah saja dengan salah satu pemuda di sini agar pandai marsuan. Saya hanya tertawa kecil sambil berjalan menuju ke arah Kak Tipen untuk pamit dan mengucapkan terimakasih karena telah diberi kesempatan yang mungkin hanya akan terjadi sekali di desa ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAKSI BISU CERITA SAKTI SANG RAJA

Turis Lokal Minggir!

AIR TUJUH RASA DI DESA AEK SIPITU DAI