Ketiadaan Sosok Ayah

Sumber: Syncplanner.id

Pengasuhan anak dalam rumah tangga merupakan tanggungjawab kedua belah pihak: ibu dan ayah. Ketiadaan salah satunya, entah ibu atau ayah, keduanya sama berdampak pada tumbuh kembang anak. Yulinda Ashari (2017) dalam penelitiannya menemukan bahwa ketiadaan sosok ayah berdampak negatif pada perkembangan psikologis anak. Bahwa orangtua harus menyadari pengasuhan terhadap bukan hanya tugas ibu atau ayah saja. Pengasuhan sifatnya kolaboratif dan terintegrasi satu sama lain. 

Ketiadaan sosok ayah atau yang juga disebut dengan fatherless, father absence, father loss, atau father hunger, terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia. Fenomena ini tidak hadir begitu saja. Merujuk Duvall (1977), sejarah mengatakan tataran sosial mendefinisikan laki-laki bertanggungjawab untuk memberi makan istri dan anak, sedangkan perempuan lebih bertanggungjawab untuk mempersiapkan makanan dan mengurus anak. Ini kemudian seolah membuat aturan sosial tak tertulis bahwa tanggungjawab untuk mengasuh anak adalah tanggungjawab ibu; tak apa jika satu peran absen, terutama jika ayah.

Salut, katanya!

Fenomena ketiadaan ayah di Indonesia menjadi menarik karena budaya patriarkal yang mengakar kuat. Tataran sosial seperti yang dinyatakan Duvall memperkuat asosiasi bahwa peran ayah mencari nafkah: pergi keluar, pulang ke rumah beristirahat; sedangkan ibu berkutat dengan pekerjaan domestik termasuk mengasuh anak bahkan mengurus suami. Demikianlah adanya. 

Bahkan urusan kesehatan primer anak seperti pengecekan kesehatan rutin atau penimbangan berat badan di posyandu seperti sudah terpola menjadi tugas para ibu. Jika ayah yang melakukan akan dianggap sebagai suatu prestasi. Hal lain jika ayah turut memandikan anak atau menyuapinya dianggap merupakan bagian dari meringankan pekerjaan ibu. Padahal bukankah itu tugas bersama? Sayangnya hal ini masih dianggap lumrah, biasa saja, bahkan di tengah arus perjuangan kesetaraan peran perempuan dan laki-laki.

Kalau Ibu malah didorong untuk seimbang kedua perannya. Kalau 
berhasil dianggap biasa, kalau ayah bisa keduanya dipuji setinggi langit. Iya, nggak?

Di wilayah timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, misalnya, banyak anak tumbuh dan berkembang tanpa sosok ayah yang hangat dan dekat. Jangankan hadir untuk bisa saling mencurahkan isi hati, relasi antara ayah dan anak, apalagi dengan anak laki-laki, cenderung jauh karena ada kebiasaan melakukan tindak kekerasan pada anak ketika lalai. Pada 2016, Save the Children mencatat kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga di Kupang, Nusa Tenggara Timur, mencapai 93%. Kekerasan, menjadi salah satu penyebab jarak yang melebar antara ayah dan anak. 

"Di sini macam su biasa begitu, biasa katong dulu dapa lipa dari bapa pake ikat pinggang atau kayu  hutan,"-Anton, Nusa Tenggara Timur

 "Beta sonde akrab dengan beta pu Bapa. Karena memang dari dulu katong ju son ngobrol," -Nelia, Nusa Tenggara Timur

Lalu, Bagaimana?
Ketiadaan sosok ayah paling fatal terjadi bukan semata ketidakhadiran fisik. Misal karena sudah jadi anak yatim atau ayah yang bekerja di beda daerah. Hal yang palng fatal terjadi karena ketidakhadiran secara psikis. 

Penelitian menyebutkan anak yang hidup tanpa sosok ayah  (secara psikologis) pada umumnya lebih beresiko bermasalah dengan teman sebaya serta menjadi sosok yang lebih agresif (Horn & Sylvester, 2002; Painter & Levine, 2000). Peneliti lain bahkan menemukan laki-laki yang tidak ber-ayah umumnya lebih sedih, depresi, ingin melakukan segala sesuatu semaunya, serta hiperaktif. Sedangkan anak perempuan tanpa sosok ayah akan cenderung merasa bebas serta dihantui oleh kecemasan dan depresi (Kandel, Rosenbaum, & Chen, 1994). 

Palkovits (2002) seperti dirujuk dalam Ashari (2017:37) membagi tiga kelompok atau tingkatan keterlibatan ayah dalam pengasuhan: 

  1. Paternal engagament atau keterlibatan pihak ayah. Dalam kelompok ini ayah terlibat dalam interaksi langsung dengan anak dalam keseharian mereka. Misalnya, bermain bersama, mengajari suatu hal, atau kegiatan yang dilakukan di kala waktu senggang. Sifatnya tidak sementara. 
  2. Accessibility/availability atau akses atau kesediaan ruang interaksi ketika ayah dibutuhkan oleh anak. Pada tingkatan ini ayah hadir hanya pada saat-saat tertentu saja dan sifatnya lebih sementara. 
  3. Responsibilities and roles in terms of developing child care plans. Bahwa pada tingkatan ini peran ayah hanya sebagai provider bagi keluarga, dengan cara bekerja untuk menghasilkan uang. Sedangkan peran pengasuhan merupakan tanggungjawab dari ibu. 

Namun, pada akhirnya keterlibatan ayah harus merupakan kombinasi dari ketiganya. Ayah harus terlibat dalam interaksi langsung, hadir saat terutama dibutuhkan (dan tidak dibutuhkan), serta memenuhi kebutuhan hidupnya (Palkovits, 2002). 

Penelitian menyebutkan, lanjut Palkovits, anak-anak yang juga diasuh oleh ayahnya terbentuk menjadi pribadi dengan kemampuan sosial dan kognitif yang baik termasuk tingkat kepercayaan diri yang teruji baik juga. 

Coba sekarang lihat sekeliling kita. Ketiadaan sosok ayah di berbagai keluarga pasti akan mudah ditemukan. Bagi Anda para ayah atau calon ayah, sosokmu penting, bukan hanya agar asap dapur terus mengebul. Lebih dari itu terlibat dalam pengasuhan jadi tempat anak setidaknya untuk membicarakan harinya juga penting dan sangat penting dari apa yang sedang kau perjuangkan. 


Ayah kera(s), mama lembu(t), anak rusa(k)!
Sebuah anekdot khas NTT yang menggambarkan pentingnya peran baik ibu maupun ayah dalam pengasuhan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAKSI BISU CERITA SAKTI SANG RAJA

Turis Lokal Minggir!

Recipe to Combat Stunting: Upgraded Resources and Supportive Policies