Istilah ini memang kurang jamak digunakan karena yang lebih sering digunakan adalah istilah aslinya, communication for development atau C4D.
C4D secara sederhana merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mencapai perubahan sosial dengan memaksimalkan komunikasi sebagai alat utama. C4D menekankan pada masyarakat sebagai subjek perubahan yang mendorong perubahan itu sendiri. Bahkan salah satu poin menarik yang ingin digali dari C4D, sejatinya solusi dalam segala permasalahan sosial sudah ada di tengah-tengah masyarakat. C4D hadir sebagai pemantik.
Pada kongres dunia tentang komunikasi untuk pembangunan di Roma pada 2006, United Nations (UN) bersepakat terkait definisi C4D:
... sebuah proses sosial yang berdasar pada dialog dengan menggunakan ragam sarana dan metode. Proses ini juga mencakup meraih perubahan pada berbagai jajaran, termasuk dengan cara mendengarkan, membangun kepercayaan, membagikan pengetahuan dan keterampilan, menyusun kebijakan, hingga diskusi dan belajar seputar perubahan yang bermakna dan berkelanjutan. Proses komunikasi ini bukan hubungan kemasyarakatan (public relations) atau komunikasi perusahaan (corporate communications).
UN sendiri telah mengidentifikasi 4 aliran utama dari C4D, antara lain: (1) komunikasi perubahan perilaku atau behaviour change communication (BCC), (2) komunikasi untuk perubahan sosial atau communication for social change (CFSC), (3) komunikasi untuk advokasi atau communication for advocacy, serta (4) penguatan media dan lingkungan komunikasi yang mendukung atau strengthening an enabling media and communication environment.
Salah satu produk pengetahuan yang menjelaskan C4D secara mudah dapat ditemukan pada video yang diproduksi oleh International Organization for Migration atau IOM:
Masalah utama yang digambarkan pada video tersebut adalah para lebah banyak yang mati dimakan predator yang serupa dengan sumber makanan mereka. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, C4D hadir menjadi salah satu alat yang digunakan. Terdapat 5 langkah yang ditempuh yang kemudian disebut sebagai P-Process. Kelima langkah yang dirumukan oleh UN ini dalam praktiknya disesuaikan dengan lini kerja atau isu dari tiap organisasi yang bernaung di bawah UN. Pun jika organisasi di luar naungan UN ingin mengadaptasi tak masalah sejauh bisa menyesuaikan.
Sumber: www.comminit.com
Pertama, melakukan analisis kebutuhan dan audiens. Langkah pertama merupakan titik penting karena pada tahap ini kita perlu terlebih dahulu tahu dan paham siapa yang menjadi subjek utama dalam proses perubahan sosial ini. Siapa mereka? Bagaimana perilaku mereka? Apa yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan harian? Dimana mereka tinggal? Mengapa mereka melakukan keputusan tertentu?
Dalam melakukan analisis ini kita membutuhkan setidkanya dua sumber data utama, primary dan secondary. Data utama dapat diperoleh dengan cara wawancara, diskusi terarah, observasi lapangan, serta KAP survey atau survei terkait knowledge, attitude, dan practice. Sedangkan data pendukung dapat diperoleh melalui penggalian dokumen, laporan penelitian, data sensus, serta beragam data seputar kelompok yang disasar.
Analisis juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek socio-ecological model (SEM). Sederhananya memperhatikan tingkat kelompok yang terdiri dari: (1) Individual, (2) Interpersonal, (3) Community, dan (4) Societal. Titik berat saat melakukan analisis: perhatikan konteks yang spesifik, nilai dan budaya yang dianut, serta situasi demografi dan geografis.
Hasil dari analisis pada tahap pertama menjadi bahan bakar untuk masuk ke tahap berikutnya: kedua, melakukan desain strategi atau strategic design. Pada tahap ini sejatinya kita belum melakukan desain, namun lebih pada merumuskan perubahan yang hendak dicapai. Langkah ini dilandaskan oleh prinsip SMART: spesific, measureable,achievable, realistic, dan time-bound. Tanyakan beberapa hal berikut:
(1) Specific: apakah perubahan yang hendak disasar merupakan yang penting dan sesuai kebutuhan?, (2) Measureable: apakah perubahan tersebut secara objektif dapat diukur? (3) Achieveable: apakah target yang hendak dicapai dapat tercapai?, (4) Realistic: apakah perubahan yang dicapai realistis?, (5) Time-bound: apakah perubahan yang hendak diraih bisa dicapai sesuai dengan waktu perencanaan dan bisa diselesaikan/dicapai dalam waktu yang ralistis?
Contoh perubahan yang menganut unsur SMART adalah:
Pada 2025 Desa Nunleu hendak menekan angka kematian Ibu dan bayi sebanyak 2%.
Jika sudah bisa merumuskan perubahan berdasar aturan SMART, desain strategi ini akan berlanjut pada tahap ketiga, pengembangan dan percobaan atau development and testing!
... dilanjutkan pada tulisan selanjutnya: Komunikasi untuk Pembangunan (2/2)
Warisan dan situs budaya di Sianjur Mula-mula memang berlimpah, seperti yang pernah saya katakan. Tempat yang ingin saya ceritakan ini terletak di Bukit Sulatti, Desa Limbong-Sagala. Tempat ini akrab disebut Sopo Guru Tatea Bulan. Sopo dalam bahasa Batak Toba berarti rumah. Tempat ini menjadi gambaran cerita kehidupan dari putera sulung Siraja Batak: Guru Tatea Bulan. Kesan pertama melihat tempat ini saya pikir tempat ini merupakan kuburan. Apalagi saat saya tiba, terdapat beberapa orang yang ramai seperti sedang berziarah. Sopo Guru Tatea Bulan tampak depan Patung keempat pelayan Raja (empat sebelah kiri) Dugaan saya salah. Tempat ini merupakan saksi bisu beragam cerita sakti Sang Raja juga keturunan serta kerabatnya. Tidak hanya sebagai saksi bisu tempat ini juga menjadi tempat ziaraah, berdoa, serta pemujaan kepada leluhur bagi mereka yang percaya. Pada bagian depan Sopo terdapat 4 patung perempuan di sebelah kanan yang sedag menumbuk padi dan 3 patung perem
Pulau Rote cantik sekali! Meski ada yang diskriminatif, di lokasi yang satu ini saya diperlakukan dengan baik! Ntaps~ "Kaka.. Son bisa pi sana. Di sana (tempatnya) bule dong!" "...." Beberapa detik di awal saya terdiam. Oh ini, ya, rasanya terasing di tanah sendiri. Kami yang tampaknya bukan turis asing dan bahkan berbahasa yang sama dengan yang menegur kami dianggap tidak layak atau tidak pantas ke tempat yang ia katakan merupakan tempat para bule, yang merujuk pada mereka yang tidak berasal dari Indonesia. Rasanya hal ini bukan hanya terjadi pada kami, saya dan teman, tetapi terjadi pada banyak orang lain di wilayah lain, terutama yang jumlah turis baik lokal maupun mancanegaranya berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan tempat saya berkunjung, Rote. Bali, Labuan Bajo, Samosir, Lombok, bisa jadi daerah yang banyak mengalienasi turis lokal. Contohnya kayak di tulisan ini , ini , dan ini . Tebakan saya ini terjadi karena kita masih mengaggap mereka yang da
Disclaimer: This article is written from the perspective of heterogeneous couples When it comes to postpartum depression, most people focus on moms and children. In fact, fathers are also the significant ones to talk to. Please meet Steven Gallegos . He is a new dad. He was over the moon, welcoming her son, Caleb. However, Steven, who had never suffered from anxiety or depression before, said he began to feel hopeless, overwhelmed, irritable, and, at times, dealt with suicidal thoughts. "There was just kind of like a fog of, 'I didn't know what to do.' Honestly, my mind was a complete jumble of confusion as I pondered, "What the hell is going on?" Like, how do I navigate this?" Steven remarked. Steven is not on his own. Studies say one in ten fathers experiences mental health difficulties in the first year of postpartum (Cookin et al., 2015). Furthermore, according to the study mentioned in Dad & Mental Health: A Parents & Verywell Mind Study (20
Komentar
Posting Komentar