Komunikasi untuk Pembangunan (1/2)

Istilah ini memang kurang jamak digunakan karena yang lebih sering digunakan adalah istilah aslinya, communication for development atau C4D. 

C4D secara sederhana merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mencapai perubahan sosial dengan memaksimalkan komunikasi sebagai alat utama. C4D menekankan pada masyarakat sebagai subjek perubahan yang mendorong perubahan itu sendiri. Bahkan salah satu poin menarik yang ingin digali dari C4D, sejatinya solusi dalam segala permasalahan sosial sudah ada di tengah-tengah masyarakat. C4D hadir sebagai pemantik. 

Pada kongres dunia tentang komunikasi untuk pembangunan di Roma pada 2006, United Nations (UN) bersepakat terkait definisi C4D: 

... sebuah proses sosial yang berdasar pada dialog dengan menggunakan ragam sarana dan metode. Proses ini juga mencakup meraih perubahan pada berbagai jajaran, termasuk dengan cara mendengarkan, membangun kepercayaan, membagikan pengetahuan dan keterampilan, menyusun kebijakan, hingga diskusi dan belajar seputar perubahan yang bermakna dan berkelanjutan. Proses komunikasi ini bukan hubungan kemasyarakatan (public relations) atau komunikasi perusahaan (corporate communications)

UN sendiri telah mengidentifikasi 4 aliran utama dari C4D, antara lain: (1) komunikasi perubahan perilaku atau behaviour change communication (BCC), (2) komunikasi untuk perubahan sosial atau communication for social change (CFSC), (3) komunikasi untuk advokasi atau communication for advocacy, serta (4) penguatan media dan lingkungan komunikasi yang mendukung atau strengthening an enabling media and communication environment

Salah satu produk pengetahuan yang menjelaskan C4D secara mudah dapat ditemukan pada video yang diproduksi oleh International Organization for Migration atau IOM: 


Masalah utama yang digambarkan pada video tersebut adalah para lebah banyak yang mati dimakan predator yang serupa dengan sumber makanan mereka. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, C4D hadir menjadi salah satu alat yang digunakan. Terdapat 5 langkah yang ditempuh yang kemudian disebut sebagai P-Process. Kelima langkah yang dirumukan oleh UN ini dalam praktiknya disesuaikan dengan lini kerja atau isu dari tiap organisasi yang bernaung di bawah UN. Pun jika organisasi di luar naungan UN ingin mengadaptasi tak masalah sejauh bisa menyesuaikan. 


Sumber: www.comminit.com 



Pertama, melakukan analisis kebutuhan dan audiens. Langkah pertama merupakan titik penting karena pada tahap ini kita perlu terlebih dahulu tahu dan paham siapa yang menjadi subjek utama dalam proses perubahan sosial ini. Siapa mereka? Bagaimana perilaku mereka? Apa yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan harian? Dimana mereka tinggal? Mengapa mereka melakukan keputusan tertentu? 

Dalam melakukan analisis ini kita membutuhkan setidkanya dua sumber data utama, primary dan secondary. Data utama dapat diperoleh dengan cara wawancara, diskusi terarah, observasi lapangan, serta KAP survey atau survei terkait knowledge, attitude, dan practice. Sedangkan data pendukung dapat diperoleh melalui penggalian dokumen, laporan penelitian, data sensus, serta beragam data seputar kelompok yang disasar. 

Analisis juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek socio-ecological model (SEM). Sederhananya memperhatikan tingkat kelompok yang terdiri dari: (1) Individual, (2) Interpersonal, (3) Community, dan (4) Societal. Titik berat saat melakukan analisis: perhatikan konteks yang spesifik, nilai dan budaya yang dianut, serta situasi demografi dan geografis. 

Hasil dari analisis pada tahap pertama menjadi bahan bakar untuk masuk ke tahap berikutnya: kedua, melakukan desain strategi atau strategic design. Pada tahap ini sejatinya kita belum melakukan desain, namun lebih pada merumuskan perubahan yang hendak dicapai. Langkah ini dilandaskan oleh prinsip SMART: spesific, measureable, achievable, realistic, dan time-bound. Tanyakan beberapa hal berikut: 
(1) Specific: apakah perubahan yang hendak disasar merupakan yang penting dan sesuai kebutuhan?, (2) Measureable: apakah perubahan tersebut secara objektif dapat diukur? (3) Achieveable: apakah target yang hendak dicapai dapat tercapai?, (4) Realistic: apakah perubahan yang dicapai realistis?, (5) Time-bound: apakah perubahan yang hendak diraih bisa dicapai sesuai dengan waktu perencanaan dan bisa diselesaikan/dicapai dalam waktu yang ralistis? 

Contoh perubahan yang menganut unsur SMART adalah: 
Pada 2025 Desa Nunleu hendak menekan angka kematian Ibu dan bayi sebanyak 2%. 

Jika sudah bisa merumuskan perubahan berdasar aturan SMART, desain strategi ini akan berlanjut pada tahap ketiga, pengembangan dan percobaan atau development and testing


... dilanjutkan pada tulisan selanjutnya: Komunikasi untuk Pembangunan (2/2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAKSI BISU CERITA SAKTI SANG RAJA

Turis Lokal Minggir!

Recipe to Combat Stunting: Upgraded Resources and Supportive Policies